Nur G.D.
ANDAI Enrico Fermi tidak memutuskan hijrah ke Amerika Serikat pada tahun 1938, mungkin Kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang, tak luluh lantak akibat dihantam bom atom. Peta politik dan kekuatan militer dunia pun tidak akan seperti sekarang di mana Amerika menjadi demikian jumawa. Dan umat manusia tidak akan terlalu skeptis terhadap pemanfaatan energi nuklir untuk kesejahteraan hidup.
Tapi, sejarah memang tak bisa diputar ulang. Semua sudah terjadi. Meski ia ilmuwan besar dan dikaruniai otak cemerlang, Fermi tetap saja seorang anak manusia yang tak bisa melepaskan diri dari takdirnya, sebagai bagian dari unsur penting sejarah yang menciptakan wajah dunia mencapai bentuknya seperti sekarang. Andai pun Fermi memutuskan tetap tinggal di Italia dan mengabdikan segala kemampuannya untuk kepentingan negara dan bangsanya, belum tentu pula tidak tercipta bom atom.
Maklum saja, saat Fermi mencapai puncak karier ilmiahnya, dunia tengah berada di ambang Perang Dunia II. Dua kutub yang berseberangan, yakni antara Poros As beranggotakan Jepang, Italia, dan Jerman di satu sisi, dan pihak sekutu yang dipimpin Amerika Serikat dengan sekutunya di pihak lain, tengah menyusun kekuatan armada perang mereka. Para ilmuwan top di masing-masing negara, mau tak mau, terlibat dalam putaran konflik tersebut. Sebagai ilmuwan dan ahli fisika terkemuka, Fermi tentu saja jadi incaran pemerintahan fasis pimpinan Mussolini. Tentu, Fermi sadar betul akan posisinya dan tentu saja ia tak akan sudi jika sampai terjadi kecemerlangan otaknya kelak dijadikan senjata pembunuh untuk membela kepentingan rezim Mussolini. Mengapa bisa begitu?
Meski anak seorang pejabat pemerintahan--ayahnya, Alberto Fermi, menjabat sebagai inspektur kepala di Kementerian Komunikasi\x{2014}Fermi menganut paham politik yang anti-fasisme. Artinya, secara politik ia berseberangan dengan Mussolini. Selain itu, pemerintahan fasis Mussolini menerapkan suatu undang-undang yang anti-Semit (Yahudi). Padahal, sang istri, Laura Capon, yang dinikahinya pada tahun 1928, adalah wanita keturunan Yahudi.
Oleh karena itulah, dengan alasan politis itu pula, usai menerima hadiah Nobel di Stockholm, Swedia pada Desember 1938, Fermi dan istri, serta kedua anaknya tidak pulang ke Italia, melainkan langsung \x{201D}menyeberang\x{201D} ke New York, Amerika Serikat.Tentu saja, kedatangan Fermi di AS membuat girang pihak AS dan Sekutu. Mereka bak mendapatkan durian jatuh. Fermi langsung mendapat tempat terhormat di Universitas Columbia.
Senjata nuklir Sejak masih di Roma, Fermi sudah dikenal sebagai ahli fisika yang brilian. Ia dan kelompoknya memberi kontribusi penting terhadap banyak aspek teori dan praktik fisika, antara lain teori statistik Fermi-Dirac, teori peluruhan beta, dan yang paling monumental adalah penemuan neutron lambat yang menyebabkan sebuah unsur memiliki sifat radioaktif, yang kelak menjadi dasar kerja dari sebuah reaktor nuklir. Hadiah Nobel bidang fisika yang diterima Fermi tahun 1938 pun berkat jasa-jasanya tersebut.
Sebelum mendapatkan Nobel, Fermi dan timnya di Roma secara intensif melakukan serangkaian percobaan dengan cara menembakkan neutron terhadap unsur-unsur dengan massa atom lebih ringan sehingga terbentuk atom bermassa lebih besar. Namun, saat itu mereka kurang mengamati fenomena fisi inti atau pembelahan atom. Tak satu pun anggota tim yang percaya\x{2014}atas dasar perhitungan teoritis\x{2014}bahwa neutron memiliki energi yang cukup untuk bisa membelah atom berukuran besar menjadi dua bagian unsur yang lebih ringan.
Hingga kedatangannya di AS, Fermi masih belum meyakini bahwa proses penyerapan neutron oleh unsur uranium bisa menyebabkan atom-atom unsur tersebut mengalami pembelahan. Karenanya, hingga saat itu pula Fermi belum punya gagasan yang jelas untuk mengembangkan temuannya mengenai reaksi nuklir untuk kepentingan pembuatan senjata pemusnah berupa bom atom. Namun, ketika tiga ilmuwan Jerman masing-masing Lise Meitner, Otto Hahn, dan Fritz Strassman pada awal 1939 melaporkan hasil temuannya, semuanya berubah dengan cepat dan Fermi langsung masuk ke dalam putaran nasib, ia harus memainkan peran penting dalam urusan nuklir.
Tiga ilmuwan Jerman itu menemukan bahwa penyerapan neutron-neutron kadang bisa menyebabkan atom uranium mengalami pembelahan. Saat mendengar laporan itu, Fermi dan kawan-kawan di Universitas Columbia menyadari bahwa pembelahan atom uranium dapat melepaskan cukup neutron untuk memulai reaksi berantai. Ini jelas berpotensi besar digunakan untuk pembuatan senjata nuklir. Fermi dan sejumlah ahli fisika segera menyadari bahaya yang mungkin terjadi jika sampai pihak Nazi Jerman dan pemerintahan fasis Mussolini mengembangkan senjata nuklir dengan memanfaatkan reaksi berantai sebagai akibat dari adanya pelepasan neutron.
Berkat bantuan Leo Szilard dan Albert Einstein yang mendesak Presiden AS, Franklin D. Roosevelt, agar memberi perhatian terhadap kemungkinan Nazi mengembangkan bom atom, reaktor nuklir pertama di dunia, Chicago Pile-1, dibangun di sebuah lapangan skuas di bawah stadion sepakbola Stagg Field, Universitas Chicago, pada 2 Desember 1942. Dalam projek tersebut, peran Fermi benar-benar sentral. Setiap tahap direncanakan secara hati-hati dan seluruh perhitungan dilakukan sendiri secara teliti oleh Fermi.
Pembangunan reaktor nuklir Chicago Pile-1 menjadi tahap awal bagi pembangunan reaktor nuklir yang lebih besar di Hanford, Washington. Reaktor nuklir terakhir inilah yang kemudian digunakan menghasilkan \x{201D}benih-benih\x{201D} plutonium bagi bom atom yang digunakan untuk keperluan percobaan seperti Trinity dan Fat Man yang meluluhlantakkan Nagasaki. Berkat bantuan dan peran Fermi dalam mengembangkan reaktor nuklir dan kemudian tercipta senjata nuklir berupa bom atom, Amerika bisa seperti sekarang dengan segala sepak terjangnya.
Ilmuwan sederhana Terlepas dari peran yang dimainkannya dalam terciptanya senjata nuklir, Fermi yang punya hobi jalan kaki, mendaki gunung, meluncur di salju ini dikenal luas sebagai satu-satunya ahli fisika di abad ke-20 yang dihormati karena keahliannya dalam dua bidang sekaligus, teori dan eksperimen. Fermi juga dikenal sebagai pribadi yang lebih menyukai hal-hal simpel, bersikap sederhana, dan disukai oleh banyak kalangan.
Berkenaan tentang Fermi, ahli sejarah fisika kenamaan C.P. Snow mengatakan, \x{201D}Andai Fermi lahir beberapa tahun lebih awal, orang bisa membayangkan dia (Fermi) menemukan inti atom Rutherford dan kemudian mengembangkan teori atom hidrogen Bohr. Jika kata-kata ini dianggap berlebihan, maka sesungguhnya segala sesuatu tentang Fermi memang seperti kata-kata yang berlebihan\x{201D}.
Fermi tidak menyukai teori-teori yang rumit. Meski ia memiliki kemampuan luar biasa dalam hal matematika, tapi ia tidak menggunakan kemampuan itu selama pekerjaannya bisa dilakukan dengan cara yang jauh lebih sederhana. Dia terkenal karena mampu menjawab setiap persoalan secara cepat dan akurat, padahal persoalan tersebut sering membuat orang lain bingung.
Henry DeWolf Smyth, Pimpinan Departemen Fisika Princeton, pernah suatu kali mengundang Fermi mengunjungi sejumlah percobaan menggunakan cyclotron (pemecah atom) Pinceton. Sambil berjalan memasuki lab, Smyth menyaksikan sang ilmuwan sederhana itu membantu seorang mahasiswa memindahkan meja dan mau saja disuruh-suruh mahasiswa. Di lain waktu, eksekutif Du Pont melakukan kunjungan untuk melihat Fermi di Columbia. Sang eksekutif tidak menemukan Fermi di kantor atau labnya, namun ia malah dikejutkan sang peraih nobel itu di sebuah bengkel, sedang memotong selembar timah menggunakan gunting besar.
Pada tanggal 28 November 1954 Fermi meninggal pada usia 53 tahun karena kanker perut, di Chicago, Illinois dan dikuburkan di kompleks kuburan Oak Woods Cemetery. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, unsur kimia bernomor 100 diberi nama Fermium, sesuai namanya. Ia juga dikenal sebagai \x{201D}Bapak Bom Atom\x{201D}. Sebuah polling yang dilakukan majalah Time menempatkan Fermi sebagai ilmuwan paling top di antara ilmuwan lain di abad ke-20.
0 komentar:
Posting Komentar